Rabu, 20 Februari 2019

Rindu Ayah - Rina Yuliana SMA N 1 MUNTOK


Rindu Ayah
Yuliana_Rina
SMAN 1 MUNTOK

Gemercik hujan kembali menampar jendela. Dari kejauhan diri kutatap nanar sulaman kuning berdiri kokoh di gubuk kecil keluargaku.  Tak lama kemudian, rumahku sesak dengan gerumulan manusia berjubah hitam seraya menyuarakan lafaz –lafaz doa.  Setelah lama, kuratapi seksama seketika nafasku berdinamika tak karuan seakan dunia telah ditelan senja hujan petang. Aku tak percaya dengan kenyataan yang kusaksikan saat ini.
Sampai akhirnya, kuhimpun kekuatan untuk mebuka tabir lawang berharap tidak akan terjadi sesuatu seperti yang kupikirkan dalam batin. Namun realita Sang Khalik berkata sebaliknya, orang yang amat kusayangi saat ini tengah terbaring lemah tanpa jiwa yang hanya menyisakan raga berbalut gamis putih menutup indah tubuhnya ditambah lagi dengan sorban untaian benang menutup kepala pelontos Ayah. 


Kini, retinaku tak kuasa lagi melihat dan menyimpan cairan bening itu. Kualirkan semua derita yang kurasakan. Kupeluk erat dan kukecup kening jenazah ayah untuk yang terakhir kalinya sembari kubisikkan.
"Mengapa secepat ini ,Yah. Mengapa? Bahkan Ayah belum  sempat melihat mimpi-mimpi yang selalu aku ceritakan setiap malam. Aku ingin menjadi seperti Ayah seorang prajurit yang  tangguh dan pemberani. Mengapa Yah?"
Lama menderai air mata menatap wajah ayah yang begitu tampan shingga baru kusadari bukan hanya aku yang kehilangan ayah untuk selamanya Bunda dan Kia adikku satu-satunya juga merasakan kepergian ayah sama sepertiku.
"Aku harus tegar, Rain tak boleh menangis di depan Bunda dan  Dek Kinan. Ria harus buat mereka bahagia. Ini janji Ria sama Ayah,"batinku
           Hujan pun silih berganti menjadi senja mengukir pekatnya cakrawala. Aku, Bunda, dan Kinan tetap menghantarkan ayah ke tempat peristirahatan terakhirnya meskipun kakek bersikeras melarang kami. Dan kakek tak henti-hentinya  mengatakan bahwasannya perempuan tidak diperbolehkan  mengiringi jenazah ke pemakaman sebab hukumnya makhruh. Yah, kakek ku memang salah satu ulama dari sekian banyak yang ada di Pulau Bangka. Dan setelah lama memohon pada Kek Wan akhirnya aku diizinkan meskipun dengan syarat darinya.
"Aliya, aku berharap kamu dan cucu-cucuku, Ria sama Kinan tidak boleh ikut ke mengebumikan Revan, biar semuanya kakek dan Ustadz Zain yang urus. Kamu di rumah saja nemenin Ibumu,"kata Kakek Wan dengan tatapan melarang kami.
"Kek Wan, Ria mohon sama kakek kali ini aja izinnin bunda ama Dek Kinan ya nganterin Ayah ke tempat peristirahatan terakhirnya, kali ini aja kek, tolonglah kek,"tuturku dengan wajah memelas dan memohon pada Kek Wan dengan butiran air mata yang tanpa kusadari telah lolos.
"Tapi pas proses pemakaman nanti Ria harus berjanji dulu pada Kek Wan, Ria Kinan  harus tegar dan selalu menguatkan Bunda. Jangan nangis terus kasihan bunda kalian tu matanya sudah bengkak,"balas Kek Wan.
"Iya, Ria sama Dek Kinan janji,"jawabku kompak bersama Kinan patuh.
            Pemakaman ayah telah usai aku, bunda dan  Dek Kia belum sanggup untuk kembali ke rumah kami sebab di dalamnya terdapat  banyak memori indah bersama ayah.  Sehingga Bunda memutuskan untuk menginap sementara waktu di Kampung Air Putih kediaman kakek.
            Seminggu telah berakhir, keluarga kecilku mulai mencoba mengikhlaskan kepergian ayah dengan perlahan. Saat membuka pintu, kuinjakkan kakiku di rumah peninggalan almarhum ayah di Tanjung Punai sembari menahan air mata yang tetap kutahan agar Bunda dan Kinan tidak bersedih.
Mulai dari derap kaki ruang tamu tempat aku melihat ayah sebelum ia masuk UGD. Aku masih tergiang-ngiang dengan perkataan ayah bersama bunda sepuluh hari yang lalu di mana  pelukan dan ciuman terhangat yang terakhir ayah berikan pada kami.
Saat itu, ayah berpesan pada bunda untuk mendidik aku dan Dek Kia dengan ilmu yang baik sampai pendidikkan tinggi serta dapat melanjutkan hidup meskipun kelak tanpa ayah di didi kami. Ia juga menasihatiku supaya berserdia menjaga Dek Kia dan membantu bunda mengurusi Rumah Makan Melayu Telaga Minang yang merupakan bisnis pencetak uang keluarga kami selama 16 tahun silam. Tak pernah kusangka itulah perbincangan kami yang terakhir bersama ayah. Perbincangan kala itu juga dihiasi ngalor ngidul dihiasi gelak tawa kehangatan ayah.
Dua tahun kemudian…
"Ayah, ayah tahu Ria selalu mengucap Asma Allah bersama lafadz doa untuk ayah yang Ria tuturkan ketika Ria beribadah pada Sang Khalik. Setiap kali Ria merasa rindu dengan pelukan hangat, nasihat-nasihat, lengkungan manis yang selalu menghias wajah meskipun wajah tegas dan kumis ayah itu yang menutupi wajah tampan ayah. Ria menyesal dan maaf beribu maaf ayah Ria belum sempat membahagiakan ayah semasa hidup ayah. Maaf yah, maaf banget."
"Sesekali Ria mohon Yah mampirlah ke mimpi kami ya Yah walau hanya sebentar saja. Ria ingin tunjukkan pada Ayah. Ayah lihat sekarang Ria  bukan anak gadis manja seperti dulu, Ria akan berusa mewujudkan janji Ria pada ayah waktu itu. Yah, meskipun bukan TNI seperti ayah Ria juga badi negara yah. Ayah tahu., empat hari yang lalu Ria menjadi dokter yang sesungguhnya seorang abdi negara  nyata tentu saja dengan senang hati  Ria menyerahkan jiwa dan ragan untuk negeri yang selalu ayah perjuangkan ini seperti yang ayah katakan pada Ria dahulu."
Ku tulis carikan kertas ini untuk ayah yang selalu aku rindukan…
"Ria rindu ayah sangat…rindu…"
Kini dua tahun telah kujalani tanpa ayah di keluarga kecil kami. Kepergian ayah untuk selamanya dua tahun yang lalu masih menyisahkan fakta penyesalan terbesar di hati ku, Bunda dan Dek Kia sebab kami tak mengetahui penyakit ayah yang sebenarnya. Penyakit tumor ganas yang ayah sembunyikan selama 8 tahun silam sejak kepulangannya dari Perbatasan Johor-Malysia, ia derita seorang diri tanpa berbagi rasa sakit pada kami. Ayah sealau mengatakan pada kami.

"Anak-anak ayah juga gak usah khawatir ayah cuman sakit biasa palingan migran aja,"seraya ayah tersenyum manis pada kami.
"Ayah yakin gak papa rambutnya Ria lihat udah pada rontok tu.,"kataku mencemaskan ayah sambil menatap ramput ayahnya yang mulai pelontos.
"Yah, ayo kita ke dokter Bunda gak tega mau lihat ayah sakit kepala terus-menerus kayak gini,"usul bunda pada ayah agar mau diajak ke dokter.
"Ayohlah, yah Kinan mohon,"bujuk Kinan.
"Bunda, Ria, Kinan ayah gak papa cuman migren biasa minum obat warung juga sembuh, udah tenang aja yah,"tutur ayah meyakinkan kami.
Dulu sebelum pindah ke Pulau Bangka keluargaku berdomisili di Palembang Sumatra Selatan, Ayah yang saat itu menjadi abdi negara yakni TNI pernah dipindah tugaskan di perbatasan Timur Indonesia yang berdekatan dengan Negeri Jiran. Semenjak pulangnya ayah dari tugasnya ia sering mengalami sakit kepala yang luar biasa dan menganggapnya hanya sekadar migran.
Bahkan setelah ayah pensiun dari jabatan abdi negara, selunjutnya ia berkeputusan untuk kembali ke daerah kelahirannya yakni Pulau Bangka tepat di Tanjung Punai. Keputusan almarhum ayah juga dilandasi dengan rasa ingin berbakti dan balas budi yang tak'kan mungkin mampu terbayar kepada Kekek dan Nek Wan orang tua  angkat almarhum ayah yang membesarkan dan mendidik ayah sampai menjadi abdi negara yang sesungguhnya dengan keterbatasan ekonomi seadanya. Tekad almarhum ayah menjadi abdi negara patut diancungi empat jempol sekaligus.
Kepergian ayah menjadikan pemikiranku sebagai pelajar sekaligus dokter muda beranjak dewasa. Selepas menamatkan pendidikan SMA ku, lima tahun sebelum ayah meninggal aku berusaha mengejar mimpi-mimpi yang telah kuukir bersama ayah. Saat almarhum ayah pergi. Pendidikkan kedokteran yang aku pilih waktu itu baru di awal tahun pertama.
Lengkap sudah beban dan penderitaanku kala itu. Awalnya aku tak sanggup melanjutkkan pendidikanku karena bunda mengalami depresi berat selama tujuh bulan setelah  ayah meninggal. Fokusku hanyalah merwat bunda dan menjaga Kinan. Bukan hanya bunda yang harus kurawat, Kinan masih belia berumur 8 tahun seringkali melamun dan berbicara seorang diri di kamar ayah meratapi foto-foto ayah terkadang tertawa terpingkal-pingkal seakan ada yang lucu di bilik kamar ayah. Ingin rasanya ku mengakhiri hidup setahun kelam namun masih ada keberuntungan di pihakku Nek Wan dan Kakek selalu bersedia membantuku mengurus segalanya termasuk mengantar Kinan dan bunda berkonsultasi ke pskiater hingga pemulihan total. Dan  pendidikan kedokteran ku pun tak terbengkalai.
Masa-masa silam itu telah kulewati dengan selalu menyebut Asma Allah dalam doa-doaku. Kini Bunda dan Kinan sudah seperti sedia kala. Saat ini, Bunda lebih memprioritaskan  sisa-sisa massa tuanya sepeninggal ayah kepda Rumah Makan  Kuliner Melayu bisnis kecil almarhum ayah dahalu yang perlahan dapat mulai berkembang menjadi tempat makan sekaligus lesehan para turis yang cukup populer di kota kami. Tak lupa pula kusempatkan diri untuk membantu bunda mengurus rumah Makan di samping jadwal praktikku yang lumayan padat.
Sedangkan Kinan adikku kembali melanjutkan sekolahnya di SD Tunas Bangsa meskipun ia harus mengulang kembali pelajaran setahun lalu yang sempat  ia tinggalkan. Ia menjadi murid yang cukup cerdas melebihi kepandaian ku. Hal itu banyak dibuktikan dengan berbagai  penghargaan dan sertifikat hasil lomba yang beberapa kali Kinan ikuti.
Tepat 17 Agustus, dua tahun silam aku kehilangan Ayah. Namun, kenangan almarhum serta tanggal kepulangannya pada Sang Khalik sangat kuhapal di luar nalar. Ayah pergi di tanggal spesial tepat di hari yang paling dikenang seluruh Rakyat Indonesia di mana mereka meraih kebebasan akan hak dan kewajiban sebagai manusia di mana tidak ada yang namanya penindasan, pelanggaran HAM, pembantaian massal serta jenazah-jenazah tak berdosa yang  tergeletak tanpa kepemilikkan bertebaran di pinggir jalan negeri ini dahulu. Aku patut bersyukur sebab aku masih diberi kesempatan menikmati waktu-waktu remajaku bersama ayah dan keluarga kecilku.


5 komentar:

  1. Kata" nya bagus rin, anak sastra banget dan cerita menyimpan amanat yang baik, semangat! Kembangkan rin!

    BalasHapus
  2. Suke Rin sme cerpen kau, kata2 e bagus dan menyentuh
    #CerpenRinduAyah
    #RinaYuliana

    BalasHapus
  3. Suke Rin sme cerpen kau, kata2 e bagus dan menyentuh
    #CerpenRinduAyah
    #RinaYuliana

    BalasHapus
  4. Makasih Sell. Ah, jadi terharu aku...

    BalasHapus