Rindu Ayah
Yuliana_Rina
SMAN 1 MUNTOK
SMAN 1 MUNTOK
Gemercik hujan kembali menampar jendela. Dari kejauhan diri
kutatap nanar sulaman kuning berdiri kokoh di gubuk kecil keluargaku. Tak
lama kemudian, rumahku sesak dengan gerumulan manusia berjubah hitam seraya
menyuarakan lafaz –lafaz doa. Setelah lama, kuratapi seksama seketika
nafasku berdinamika tak karuan seakan dunia telah ditelan senja hujan petang.
Aku tak percaya dengan kenyataan yang kusaksikan saat ini.
Sampai akhirnya, kuhimpun kekuatan untuk mebuka tabir lawang
berharap tidak akan terjadi sesuatu seperti yang kupikirkan dalam batin. Namun
realita Sang Khalik berkata sebaliknya, orang yang amat kusayangi saat ini
tengah terbaring lemah tanpa jiwa yang hanya menyisakan raga berbalut gamis
putih menutup indah tubuhnya ditambah lagi dengan sorban untaian benang menutup
kepala pelontos Ayah.
Kini, retinaku tak kuasa lagi melihat dan menyimpan cairan
bening itu. Kualirkan semua derita yang kurasakan. Kupeluk erat dan kukecup
kening jenazah ayah untuk yang terakhir kalinya sembari kubisikkan.
"Mengapa
secepat ini ,Yah. Mengapa? Bahkan Ayah belum sempat melihat mimpi-mimpi
yang selalu aku ceritakan setiap malam. Aku ingin menjadi seperti Ayah
seorang prajurit yang tangguh dan pemberani. Mengapa Yah?"
Lama menderai air mata menatap wajah ayah yang begitu tampan
shingga baru kusadari bukan hanya aku yang kehilangan ayah untuk selamanya
Bunda dan Kia adikku satu-satunya juga merasakan kepergian ayah sama sepertiku.
"Aku
harus tegar, Rain tak boleh menangis di depan Bunda dan Dek Kinan. Ria
harus buat mereka bahagia. Ini janji Ria sama Ayah,"batinku
Hujan pun silih berganti menjadi senja mengukir pekatnya
cakrawala. Aku, Bunda, dan Kinan tetap menghantarkan ayah ke tempat
peristirahatan terakhirnya meskipun kakek bersikeras melarang kami. Dan kakek
tak henti-hentinya mengatakan bahwasannya perempuan tidak
diperbolehkan mengiringi jenazah ke pemakaman sebab hukumnya makhruh.
Yah, kakek ku memang salah satu ulama dari sekian banyak yang ada di Pulau
Bangka. Dan setelah lama memohon pada Kek Wan akhirnya aku diizinkan meskipun
dengan syarat darinya.
"Aliya,
aku berharap kamu dan cucu-cucuku, Ria sama Kinan tidak boleh ikut ke
mengebumikan Revan, biar semuanya kakek dan Ustadz Zain yang urus. Kamu di
rumah saja nemenin Ibumu,"kata Kakek Wan dengan tatapan melarang kami.
"Kek
Wan, Ria mohon sama kakek kali ini aja izinnin bunda ama Dek Kinan ya nganterin
Ayah ke tempat peristirahatan terakhirnya, kali ini aja kek, tolonglah
kek,"tuturku dengan wajah memelas dan memohon pada Kek Wan dengan butiran
air mata yang tanpa kusadari telah lolos.
"Tapi
pas proses pemakaman nanti Ria harus berjanji dulu pada Kek Wan, Ria Kinan
harus tegar dan selalu menguatkan Bunda. Jangan nangis terus kasihan
bunda kalian tu matanya sudah bengkak,"balas Kek Wan.
"Iya,
Ria sama Dek Kinan janji,"jawabku kompak bersama Kinan patuh.
Pemakaman ayah telah usai aku, bunda dan Dek Kia belum sanggup untuk
kembali ke rumah kami sebab di dalamnya terdapat banyak memori indah
bersama ayah. Sehingga Bunda memutuskan untuk menginap sementara waktu di
Kampung Air Putih kediaman kakek.
Seminggu telah berakhir, keluarga kecilku mulai mencoba mengikhlaskan kepergian
ayah dengan perlahan. Saat membuka pintu, kuinjakkan kakiku di rumah
peninggalan almarhum ayah di Tanjung Punai sembari menahan air mata yang tetap
kutahan agar Bunda dan Kinan tidak bersedih.
Mulai dari derap kaki ruang tamu tempat aku melihat ayah
sebelum ia masuk UGD. Aku masih tergiang-ngiang dengan perkataan ayah bersama
bunda sepuluh hari yang lalu di mana pelukan dan ciuman terhangat yang
terakhir ayah berikan pada kami.
Saat itu, ayah berpesan pada bunda untuk mendidik aku dan
Dek Kia dengan ilmu yang baik sampai pendidikkan tinggi serta dapat melanjutkan
hidup meskipun kelak tanpa ayah di didi kami. Ia juga menasihatiku supaya
berserdia menjaga Dek Kia dan membantu bunda mengurusi Rumah Makan Melayu
Telaga Minang yang merupakan bisnis pencetak uang keluarga kami selama 16 tahun
silam. Tak pernah kusangka itulah perbincangan kami yang terakhir bersama ayah.
Perbincangan kala itu juga dihiasi ngalor ngidul dihiasi gelak tawa kehangatan
ayah.
Dua tahun kemudian…
"Ayah, ayah tahu Ria selalu mengucap Asma Allah bersama
lafadz doa untuk ayah yang Ria tuturkan ketika Ria beribadah pada Sang Khalik.
Setiap kali Ria merasa rindu dengan pelukan hangat, nasihat-nasihat, lengkungan
manis yang selalu menghias wajah meskipun wajah tegas dan kumis ayah itu yang
menutupi wajah tampan ayah. Ria menyesal dan maaf beribu maaf ayah Ria belum
sempat membahagiakan ayah semasa hidup ayah. Maaf yah, maaf banget."
"Sesekali Ria mohon Yah mampirlah ke mimpi kami ya Yah
walau hanya sebentar saja. Ria ingin tunjukkan pada Ayah. Ayah lihat sekarang
Ria bukan anak gadis manja seperti dulu, Ria akan berusa mewujudkan janji
Ria pada ayah waktu itu. Yah, meskipun bukan TNI seperti ayah Ria juga badi
negara yah. Ayah tahu., empat hari yang lalu Ria menjadi dokter yang
sesungguhnya seorang abdi negara nyata tentu saja dengan senang hati
Ria menyerahkan jiwa dan ragan untuk negeri yang selalu ayah perjuangkan
ini seperti yang ayah katakan pada Ria dahulu."
Ku tulis carikan kertas ini untuk ayah yang selalu aku
rindukan…
"Ria rindu ayah sangat…rindu…"
Kini dua tahun telah kujalani tanpa ayah di keluarga kecil
kami. Kepergian ayah untuk selamanya dua tahun yang lalu masih menyisahkan
fakta penyesalan terbesar di hati ku, Bunda dan Dek Kia sebab kami tak
mengetahui penyakit ayah yang sebenarnya. Penyakit tumor ganas yang ayah
sembunyikan selama 8 tahun silam sejak kepulangannya dari Perbatasan
Johor-Malysia, ia derita seorang diri tanpa berbagi rasa sakit pada kami. Ayah
sealau mengatakan pada kami.
"Anak-anak
ayah juga gak usah khawatir ayah cuman sakit biasa palingan migran
aja,"seraya ayah tersenyum manis pada kami.
"Ayah
yakin gak papa rambutnya Ria lihat udah pada rontok tu.,"kataku
mencemaskan ayah sambil menatap ramput ayahnya yang mulai pelontos.
"Yah,
ayo kita ke dokter Bunda gak tega mau lihat ayah sakit kepala terus-menerus
kayak gini,"usul bunda pada ayah agar mau diajak ke dokter.
"Ayohlah,
yah Kinan mohon,"bujuk Kinan.
"Bunda,
Ria, Kinan ayah gak papa cuman migren biasa minum obat warung juga sembuh, udah
tenang aja yah,"tutur ayah meyakinkan kami.
Dulu sebelum pindah ke Pulau Bangka keluargaku berdomisili di
Palembang Sumatra Selatan, Ayah yang saat itu menjadi abdi negara yakni TNI
pernah dipindah tugaskan di perbatasan Timur Indonesia yang berdekatan dengan
Negeri Jiran. Semenjak pulangnya ayah dari tugasnya ia sering mengalami sakit
kepala yang luar biasa dan menganggapnya hanya sekadar migran.
Bahkan setelah ayah pensiun dari jabatan abdi negara,
selunjutnya ia berkeputusan untuk kembali ke daerah kelahirannya yakni Pulau
Bangka tepat di Tanjung Punai. Keputusan almarhum ayah juga dilandasi dengan
rasa ingin berbakti dan balas budi yang tak'kan mungkin mampu terbayar kepada
Kekek dan Nek Wan orang tua angkat almarhum ayah yang membesarkan dan
mendidik ayah sampai menjadi abdi negara yang sesungguhnya dengan keterbatasan
ekonomi seadanya. Tekad almarhum ayah menjadi abdi negara patut diancungi empat
jempol sekaligus.
Kepergian ayah menjadikan pemikiranku sebagai pelajar
sekaligus dokter muda beranjak dewasa. Selepas menamatkan pendidikan SMA ku,
lima tahun sebelum ayah meninggal aku berusaha mengejar mimpi-mimpi yang telah
kuukir bersama ayah. Saat almarhum ayah pergi. Pendidikkan kedokteran yang aku
pilih waktu itu baru di awal tahun pertama.
Lengkap sudah beban dan penderitaanku kala itu. Awalnya aku
tak sanggup melanjutkkan pendidikanku karena bunda mengalami depresi berat
selama tujuh bulan setelah ayah meninggal. Fokusku hanyalah merwat bunda
dan menjaga Kinan. Bukan hanya bunda yang harus kurawat, Kinan masih belia
berumur 8 tahun seringkali melamun dan berbicara seorang diri di kamar ayah
meratapi foto-foto ayah terkadang tertawa terpingkal-pingkal seakan ada yang
lucu di bilik kamar ayah. Ingin rasanya ku mengakhiri hidup setahun kelam namun
masih ada keberuntungan di pihakku Nek Wan dan Kakek selalu bersedia membantuku
mengurus segalanya termasuk mengantar Kinan dan bunda berkonsultasi ke pskiater
hingga pemulihan total. Dan pendidikan kedokteran ku pun tak
terbengkalai.
Masa-masa silam itu telah kulewati dengan selalu menyebut
Asma Allah dalam doa-doaku. Kini Bunda dan Kinan sudah seperti sedia kala. Saat
ini, Bunda lebih memprioritaskan sisa-sisa massa tuanya sepeninggal ayah
kepda Rumah Makan Kuliner Melayu bisnis kecil almarhum ayah dahalu yang
perlahan dapat mulai berkembang menjadi tempat makan sekaligus lesehan para
turis yang cukup populer di kota kami. Tak lupa pula kusempatkan diri untuk
membantu bunda mengurus rumah Makan di samping jadwal praktikku yang lumayan
padat.
Sedangkan Kinan adikku kembali melanjutkan sekolahnya di SD
Tunas Bangsa meskipun ia harus mengulang kembali pelajaran setahun lalu yang
sempat ia tinggalkan. Ia menjadi murid yang cukup cerdas melebihi
kepandaian ku. Hal itu banyak dibuktikan dengan berbagai penghargaan dan
sertifikat hasil lomba yang beberapa kali Kinan ikuti.
Tepat 17 Agustus, dua tahun silam aku kehilangan
Ayah. Namun, kenangan almarhum serta tanggal kepulangannya pada Sang
Khalik sangat kuhapal di luar nalar. Ayah pergi di tanggal spesial tepat di
hari yang paling dikenang seluruh Rakyat Indonesia di mana mereka meraih
kebebasan akan hak dan kewajiban sebagai manusia di mana tidak ada yang namanya
penindasan, pelanggaran HAM, pembantaian massal serta jenazah-jenazah tak
berdosa yang tergeletak tanpa kepemilikkan bertebaran di pinggir jalan
negeri ini dahulu. Aku patut bersyukur sebab aku masih diberi kesempatan
menikmati waktu-waktu remajaku bersama ayah dan keluarga kecilku.
Kata" nya bagus rin, anak sastra banget dan cerita menyimpan amanat yang baik, semangat! Kembangkan rin!
BalasHapusMakasih ya. Okeh siappp bos:v)
HapusSuke Rin sme cerpen kau, kata2 e bagus dan menyentuh
BalasHapus#CerpenRinduAyah
#RinaYuliana
Suke Rin sme cerpen kau, kata2 e bagus dan menyentuh
BalasHapus#CerpenRinduAyah
#RinaYuliana
Makasih Sell. Ah, jadi terharu aku...
BalasHapus