Semburat cahaya mentari menembus rumah berdinding
kertas semen yang lusuh, hangat dirasakan wajah bulat malika. Aroma embun pagi
semerbak untuk dirasakan, namun tidak bagi malika. Waktu pagi akan selalu
dibenci olehnya, udara bersih yang seharusnya bisa dirasakan kini hanya menjadi
harapan palsu baginya. Malika kecil bergegas bangkit dari tempat tidur tipis
yang selalu menjadi tempat merebahkan tubuh bongsornya. Seperti biasa air putih
diteguk untuk sekedar membasahi kerongkongan dan pengganjal perut pengganti
sarapan paginya.
“Malika ...” teriak seorang wanita cantik
dipinggir jalan. Dengan sigap malika menoleh mencari sumber suara itu. “Oh, Bu
Puji..” kali ini raut wajahnya sangat sumringah karena langganannya itu bukan
hanya menyodorkan kantong plastik penuh sampah untuk ditampung didepan rumahnya
saja, Bu Puji juga memberikan selembar uang kertas dua puluh ribu rupiah.
“Untuk Jajan” senyum Bu Puji sembari mencubit pipi gembul Malika. “Besok kamu
datang ke rumah Ibu”, “Ada apa bu...” tanya Malika mengerutkan dahinya. “Besok
Ibu berangkat ke Solo, pindah dinas disana. Banyak baju yang masih bagus, pilih
seberapa banyak yang kamu suka” tukasnya.
Dunia terasa runtuh dalam pandangan Malika,
harapannya pupus seiring langkah kaki Bu Puji meninggalkan tempat penampungan
sampah sementara desa mayang itu. Bu Puji sudah tak bisa menyambanginya lagi,
padahal selama ini dialah satu-satunya pelanggan setia yang ramah dan sering
memberikan wejangan kepada Malika untuk tetap bersekolah dalam keterbatasan
yang ada.
Matahari semakin terik, dengan lamunan
panjangnya tentang Bu Puji, Malika lesu mengais botol plastik yang
dikumpulkannya untuk dijual ke pengepul di pasar. Dengan perasaan yang masih
kecewa, ia menyudahi rutinitasnya di minggu pagi. Pikirannya melayang jauh
bersama angin yang berhembus pelan. Ibunya yang sudah tua kini tidak bisa memberikan
perhatiannya lagi karena terkena penyakit magh kronis. Sebelum sakit, Ibunya
berprofesi sebagai tukang jamu keliling di sekitar desa. Lumayan untuk
menyambung hidup mereka berdua, hingga terkadang bisa membeli makanan yang
bergizi untuk perutnya, namun sekarang bisa makan dengan garam dicampur minyak
jelantah pun sudah sangat bersyukur. Lebih bersyukur lagi dengan dirinya yang
kini mendapatkan beasiswa, sehingga ia masih bisa melanjutkan sekolahnya.
Dalam renungan Malika mengeluh, “Terlalu
sayangkah kau padaku, sehingga cobaan yang semestinya tak sanggup aku pikul kau
berikan padaku Tuhan.” Rintihan hati berbalut secercah harapan selalu terbesit
dalam benaknya. Pikiran Malika terus mengacau dalam keheningan senja, ia
terpikir untuk memperbaiki atap rumahnya yang sudah bocor bila diterpa hujan.
Tetapi apalah daya, untuk hidup sekedar dengan kata cukup pun tak bisa
dicapainya, apalagi untuk memperbaiki rumah? Tangan legamnya mengusap muka yang
kian bertambah gelap terpanggang panasnya matahari.
Dipandangnya lamat-lamat gundukan berbagai
macam sampah dipekarangan rumahnya. “Bruuk...” Lamunannya buyar seketika
mendengar lemparan karung dari bak mobil warna hitam dipinggir jalan. Tanpa
menyapa Malika, mobil rongsok itu melaju cepat begitu saja. Hal yang biasa
Malika dapatkan dari pembuang sampah ditempatnya. Ya, sekali lagi pikirannya
terlintas wajah Bu Puji. Hanya wanita itu yang mempunyai tempat khusus dihati
Malika, sebagai orang terbaik didunia.
Langit malam menggantikan cerahnya langit
siang. Dengan lampu teplok, lincahnya tangan Malika menulis sebuah catatan
harian dibuku bersampul merah jambu usang sebagai pengganti teman pendengar
curahan hatinya. Walau terkadang sesekali ia tak sempat menulis keluh kesalnya
dikala lelah yang amat berat dirasakannya. Bulir bening membasahi pipinya,
dikala mata tertuju pada sosok wanita lemah berbaring diatas tumpukan kasur kapuk
tipis. “Tak apalah kita hidup seperti ini sekarang mak, Malika janji akan tetap
tegar dan berjuang menjalani kejamnya dunia...” lirih Malika sembari menyeka
air mata, dan merebahkan diri disamping Ibunya.
Kumandang azan merdu membangunkan Malika, ia
segera bersiap-siap untuk merajut hidup dengan benang-benang kesabaran agar
menjadi rajutan indah yang tak ternilai harganya. Sepatu kulit berwarna hitam
yang ia temukan di kardus sampah beberapa minggu lalu terpasang dikedua
kakinya. Pintu rumah sesekali ia dorong untuk memastikan kuncinya telah
terpasang dengan benar. Rasa khawatir terhadap Ibunya ia singkirkan jauh-jauh,
mencoba tetap berprasangka baik terhadap Ibu yang ditinggalnya setengah hari
didalam rumah seorang diri.
Malika berjalan perlahan sambil menyentuh
ilalang-ilalang dipinggir jalan, ia tak berani melangkah dengan cepat karna
sepatu yang ia kenakan terkadang lepas tapaknya. Kesempatan mengenyam bangku
pendidikan ia jalani dengan sepenuh hati, walau terkadang ia harus mengalami
perihnya perut yang kosong selama jam pelajaran dimulai. Waktu istirahat pun
digunakannya untuk duduk disudut perpustakaan sambil membaca novel kesukaannya.
Maklum, untuk sekedar membeli kudapan ringan Malika tak punya uang sepeserpun.
Truk besar berwarna kuning bertandang
dipinggir jalan didepan rumah Malika, tubuh kekar pegawai dinas kebersihan
mengangkut sampah-sampah ke bak mobil. “Malika, kau ini menghambat kami
bekerja! menjauh dari situ!” teriak pria berbaju coklat dibalik kemudinya. Berlari
kecil Malika menjauh dari tumpukan sampah yang sejak siang dikaisnya. Peluh
keringat membasahi baju kumal yang ia kenakan, laparnya perut membawa kakinya
melangkah kebilik dapur kecil rumahnya. Sepiring nasi hangat yang ia bayangkan
lenyap ketika ia membuka priuk nasi yang kosong. Cepat tangan Malika merogoh
saku celana, seingatnya masih ada uang lembaran lima ribu rupiah hasil menjual
rongsok dipasar kemarin sore. “Tuhan, sampai kapankah derita ini kami rasakan.
Tak pantaskah kami tersenyum bahagia walau sedetik?” gumamnya dalam hati. Uang
hasil jerih payahnya hilang, saku celana yang ia kenakan ternyata bolong.
Tangan gempal itu menekan perut yang sejak pagi tadi tidak terisi makanan
apapun, hanya seteguk air putih hangat membasahi kerongkongannya saat itu.
Getirnya hidup kian dirasakan Malika. Waktu
bergulir begitu cepat, Malika kecil kini telah beranjak dewasa, namun rutinitas
yang ia kerjakan masih sama seperti sebelumnya, bedanya kini ia telah
melanjutkan pendidikannya di kampus ternama di kota Solo. Kesehatan Ibunya kini
sudah membaik berkat bantuan dari kelurahan desa mayang tempat tinggalnya dulu.
Malika tumbuh menjadi gadis manis yang tegar dan tetap bersungguh-sungguh
menjalani skenario yang dituliskan Tuhan untuknya.
“Tabrak lari...!” teriak warga sekitar
kebingungan mencari kendaraan yang bersedia memberikan tumpangannya, darah
mengalir dijalan sangat deras. Seorang wanita tua ditabrak kendaraan roda empat
didepan kampus Malika. Kericuhan terjadi, warga tak ada yang berani mengangkat
korban. Langkah kaki Malika terseok menghampiri kerumunan warga yang hanya
menonton kejadian itu. Rasa kesal Malika terhadap warga tak terbendung, “Ibu
ini luka parah, kenapa kalian hanya menontonnya saja!” tatap sinis Malika
menyorot lingkaran manusia yang ada dijalan itu. Angkot menjadi pilihannya,
ditemani dua orang warga Malika membawa korban tabrak lari itu kerumah sakit
terdekat.
Kejadian itu membuat Malika akrab dengan Ibu
yang hanya sebatang kara tanpa identitas. “Mak, akan ku jaga kau sampai
kapanpun. Tak kan Malika biarkan Mak menjadi sebatang kara seperti Ibu ini.”
Tersendat kata-kata itu pelan Malika ucapkan.
“Malika ...” suara itu memecah keheningan suasana kamar rumah
sakit. Suara yang tak lagi asing terdengar ditelinganya. Korban yang terbujur
lemah ditempat tidur putih itu ternyata wanita cantik yang dulu menjadi sosok
penyemangatnya. Bu Suji, ya nama itu telah terpatok dihati Malika sejak kecil.
Bulir bening mengalir, tak lagi bersembunyi dari balik kelopak mata lentiknya. Ketiga
wanita hebat itu kini tinggal di satu atap kokoh bercat biru. Malika kini
menjadi putri angkat dari Bu Suji, dari balik balkon ia menatap biru nya langit
ketika itu. “Tuhan, maafkan segala celoteh ku selama ini. Rumah dinding kertas
semen dengan pemandangan sampah menggunung takkan ku lupakan”. Senyum simpul
menghias wajah manisnya.
0 komentar:
Posting Komentar