Rabu, 20 Februari 2019

SKENARIO AWAL UNTUK MALIKA Karya: Siti Rosita

Semburat cahaya mentari menembus rumah berdinding kertas semen yang lusuh, hangat dirasakan wajah bulat malika. Aroma embun pagi semerbak untuk dirasakan, namun tidak bagi malika. Waktu pagi akan selalu dibenci olehnya, udara bersih yang seharusnya bisa dirasakan kini hanya menjadi harapan palsu baginya. Malika kecil bergegas bangkit dari tempat tidur tipis yang selalu menjadi tempat merebahkan tubuh bongsornya. Seperti biasa air putih diteguk untuk sekedar membasahi kerongkongan dan pengganjal perut pengganti sarapan paginya.
“Malika ...” teriak seorang wanita cantik dipinggir jalan. Dengan sigap malika menoleh mencari sumber suara itu. “Oh, Bu Puji..” kali ini raut wajahnya sangat sumringah karena langganannya itu bukan hanya menyodorkan kantong plastik penuh sampah untuk ditampung didepan rumahnya saja, Bu Puji juga memberikan selembar uang kertas dua puluh ribu rupiah. “Untuk Jajan” senyum Bu Puji sembari mencubit pipi gembul Malika. “Besok kamu datang ke rumah Ibu”, “Ada apa bu...” tanya Malika mengerutkan dahinya. “Besok Ibu berangkat ke Solo, pindah dinas disana. Banyak baju yang masih bagus, pilih seberapa banyak yang kamu suka” tukasnya.
Dunia terasa runtuh dalam pandangan Malika, harapannya pupus seiring langkah kaki Bu Puji meninggalkan tempat penampungan sampah sementara desa mayang itu. Bu Puji sudah tak bisa menyambanginya lagi, padahal selama ini dialah satu-satunya pelanggan setia yang ramah dan sering memberikan wejangan kepada Malika untuk tetap bersekolah dalam keterbatasan yang ada.
Matahari semakin terik, dengan lamunan panjangnya tentang Bu Puji, Malika lesu mengais botol plastik yang dikumpulkannya untuk dijual ke pengepul di pasar. Dengan perasaan yang masih kecewa, ia menyudahi rutinitasnya di minggu pagi. Pikirannya melayang jauh bersama angin yang berhembus pelan. Ibunya yang sudah tua kini tidak bisa memberikan perhatiannya lagi karena terkena penyakit magh kronis. Sebelum sakit, Ibunya berprofesi sebagai tukang jamu keliling di sekitar desa. Lumayan untuk menyambung hidup mereka berdua, hingga terkadang bisa membeli makanan yang bergizi untuk perutnya, namun sekarang bisa makan dengan garam dicampur minyak jelantah pun sudah sangat bersyukur. Lebih bersyukur lagi dengan dirinya yang kini mendapatkan beasiswa, sehingga ia masih bisa melanjutkan sekolahnya.
Dalam renungan Malika mengeluh, “Terlalu sayangkah kau padaku, sehingga cobaan yang semestinya tak sanggup aku pikul kau berikan padaku Tuhan.” Rintihan hati berbalut secercah harapan selalu terbesit dalam benaknya. Pikiran Malika terus mengacau dalam keheningan senja, ia terpikir untuk memperbaiki atap rumahnya yang sudah bocor bila diterpa hujan. Tetapi apalah daya, untuk hidup sekedar dengan kata cukup pun tak bisa dicapainya, apalagi untuk memperbaiki rumah? Tangan legamnya mengusap muka yang kian bertambah gelap terpanggang panasnya matahari.
Dipandangnya lamat-lamat gundukan berbagai macam sampah dipekarangan rumahnya. “Bruuk...” Lamunannya buyar seketika mendengar lemparan karung dari bak mobil warna hitam dipinggir jalan. Tanpa menyapa Malika, mobil rongsok itu melaju cepat begitu saja. Hal yang biasa Malika dapatkan dari pembuang sampah ditempatnya. Ya, sekali lagi pikirannya terlintas wajah Bu Puji. Hanya wanita itu yang mempunyai tempat khusus dihati Malika, sebagai orang terbaik didunia.
Langit malam menggantikan cerahnya langit siang. Dengan lampu teplok, lincahnya tangan Malika menulis sebuah catatan harian dibuku bersampul merah jambu usang sebagai pengganti teman pendengar curahan hatinya. Walau terkadang sesekali ia tak sempat menulis keluh kesalnya dikala lelah yang amat berat dirasakannya. Bulir bening membasahi pipinya, dikala mata tertuju pada sosok wanita lemah berbaring diatas tumpukan kasur kapuk tipis. “Tak apalah kita hidup seperti ini sekarang mak, Malika janji akan tetap tegar dan berjuang menjalani kejamnya dunia...” lirih Malika sembari menyeka air mata, dan merebahkan diri disamping Ibunya.
Kumandang azan merdu membangunkan Malika, ia segera bersiap-siap untuk merajut hidup dengan benang-benang kesabaran agar menjadi rajutan indah yang tak ternilai harganya. Sepatu kulit berwarna hitam yang ia temukan di kardus sampah beberapa minggu lalu terpasang dikedua kakinya. Pintu rumah sesekali ia dorong untuk memastikan kuncinya telah terpasang dengan benar. Rasa khawatir terhadap Ibunya ia singkirkan jauh-jauh, mencoba tetap berprasangka baik terhadap Ibu yang ditinggalnya setengah hari didalam rumah seorang diri.
Malika berjalan perlahan sambil menyentuh ilalang-ilalang dipinggir jalan, ia tak berani melangkah dengan cepat karna sepatu yang ia kenakan terkadang lepas tapaknya. Kesempatan mengenyam bangku pendidikan ia jalani dengan sepenuh hati, walau terkadang ia harus mengalami perihnya perut yang kosong selama jam pelajaran dimulai. Waktu istirahat pun digunakannya untuk duduk disudut perpustakaan sambil membaca novel kesukaannya. Maklum, untuk sekedar membeli kudapan ringan Malika tak punya uang sepeserpun.
Truk besar berwarna kuning bertandang dipinggir jalan didepan rumah Malika, tubuh kekar pegawai dinas kebersihan mengangkut sampah-sampah ke bak mobil. “Malika, kau ini menghambat kami bekerja! menjauh dari situ!” teriak pria berbaju coklat dibalik kemudinya. Berlari kecil Malika menjauh dari tumpukan sampah yang sejak siang dikaisnya. Peluh keringat membasahi baju kumal yang ia kenakan, laparnya perut membawa kakinya melangkah kebilik dapur kecil rumahnya. Sepiring nasi hangat yang ia bayangkan lenyap ketika ia membuka priuk nasi yang kosong. Cepat tangan Malika merogoh saku celana, seingatnya masih ada uang lembaran lima ribu rupiah hasil menjual rongsok dipasar kemarin sore. “Tuhan, sampai kapankah derita ini kami rasakan. Tak pantaskah kami tersenyum bahagia walau sedetik?” gumamnya dalam hati. Uang hasil jerih payahnya hilang, saku celana yang ia kenakan ternyata bolong. Tangan gempal itu menekan perut yang sejak pagi tadi tidak terisi makanan apapun, hanya seteguk air putih hangat membasahi kerongkongannya saat itu.
Getirnya hidup kian dirasakan Malika. Waktu bergulir begitu cepat, Malika kecil kini telah beranjak dewasa, namun rutinitas yang ia kerjakan masih sama seperti sebelumnya, bedanya kini ia telah melanjutkan pendidikannya di kampus ternama di kota Solo. Kesehatan Ibunya kini sudah membaik berkat bantuan dari kelurahan desa mayang tempat tinggalnya dulu. Malika tumbuh menjadi gadis manis yang tegar dan tetap bersungguh-sungguh menjalani skenario yang dituliskan Tuhan untuknya.
“Tabrak lari...!” teriak warga sekitar kebingungan mencari kendaraan yang bersedia memberikan tumpangannya, darah mengalir dijalan sangat deras. Seorang wanita tua ditabrak kendaraan roda empat didepan kampus Malika. Kericuhan terjadi, warga tak ada yang berani mengangkat korban. Langkah kaki Malika terseok menghampiri kerumunan warga yang hanya menonton kejadian itu. Rasa kesal Malika terhadap warga tak terbendung, “Ibu ini luka parah, kenapa kalian hanya menontonnya saja!” tatap sinis Malika menyorot lingkaran manusia yang ada dijalan itu. Angkot menjadi pilihannya, ditemani dua orang warga Malika membawa korban tabrak lari itu kerumah sakit terdekat.
Kejadian itu membuat Malika akrab dengan Ibu yang hanya sebatang kara tanpa identitas. “Mak, akan ku jaga kau sampai kapanpun. Tak kan Malika biarkan Mak menjadi sebatang kara seperti Ibu ini.” Tersendat kata-kata itu pelan Malika ucapkan.
“Malika ...” suara itu memecah keheningan suasana kamar rumah sakit. Suara yang tak lagi asing terdengar ditelinganya. Korban yang terbujur lemah ditempat tidur putih itu ternyata wanita cantik yang dulu menjadi sosok penyemangatnya. Bu Suji, ya nama itu telah terpatok dihati Malika sejak kecil. Bulir bening mengalir, tak lagi bersembunyi dari balik kelopak mata lentiknya. Ketiga wanita hebat itu kini tinggal di satu atap kokoh bercat biru. Malika kini menjadi putri angkat dari Bu Suji, dari balik balkon ia menatap biru nya langit ketika itu. “Tuhan, maafkan segala celoteh ku selama ini. Rumah dinding kertas semen dengan pemandangan sampah menggunung takkan ku lupakan”. Senyum simpul menghias wajah manisnya.

0 komentar:

Posting Komentar